Selasa, 19 Juli 2011
Masih ada satu hari lagi yang bisa saya nikmati di Kota Kuningan. Kesempatan yang tidak mungkin akan saya sia-siakan hanya untuk berdiam diri di rumah teman saya. Masih banyak suguhan wisata di kota ini yang siap untuk dinikmati. Bersiap menerima kedatangan saya dan menjamu saya dengan keindahannya. Walaupun ga semuanya bisa saya kunjungi, setidaknya mengunjungi satu atau dua tempat wisata sudah cukup untuk menambah kenangan di kota ini. Menambah koleksi foto di harddisk komputer, untuk dikenang di lain waktu.
Sesuai rencana yang telah kami sepakati sebelumnya, kami akan berkunjung ke Museum Linggarjati. Sebuah museum yang awalnya merupakan sebuah rumah keluarga yang dijadikan sebagai tempat perundingan antara Indonesia-Belanda. Museum Linggarjati merupakan salah satu tujuan wisata terkenal di Kuningan, suatu tempat yang menjadi saksi penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Suatu tempat yang selalu tercantum di buku sejarah saya dari SD hingga SMA. Sebagai pecinta sejarah, saya tidak akan melewatkan kesempatan bisa mengunjungi salah satu tempat yang bersejarah ini.
Dari rencana awal berangkat pagi sekitar jam 10.00, ternyata harus molor sampe siang hari abis sholat dzuhur. Seperti biasa, kebiasaan begadang dan bangun tidur menjelang siang susah dihilangkan. Jam di dinding kamar hampir menunjukkan pukul 10.00, kami malah baru bangun tidur. Setelah selesai makan siang dan sholat dzuhur, kami berangkat menuju Linggarjati di daerah Cilimus. Ternyata langit sepertinya kurang bersahabat, terlihat mendung mulai menghitam. Tapi tak menyurutkan niat kami untuk tetap pergi mengunjunginya.
Desa Linggarjati
Linggarjati adalah sebuah desa yang terletak dilereng Gunung Ciremai, desa ini berada di wilayah Blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus, Kuningan. Di desa inilah tempat berlangsungnya perundingan yang bersejarah antara Indonesia dan Belanda, yaitu perundingan Linggarjati. Sebuah tempat yang menjadi bagian penting dalam usaha Indonesia menjadi negara yang berdaulat setelah berhasil menjadi negara yang merdeka. Tempat berlangsungnya perundingan tersebut kini dilestarikan sebagai Museum Linggarjati.
Linggarjati merupakan desa dengan hawa yang sejuk, karena terletak pada ketinggian sekitar 400 meter dari permukaan air laut. Akses menuju desa ini sangat mudah sekali, baik dari arah Kuningan maupun Cirebon, bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun umum. Jarak tempuh untuk menuju lokasi ini tidak terlalu jauh, dari Kota Cirebon sekitar 25 Km sedangkan dari arah Kota Kuningan sekitar 17 Km.
Kami memasuki desa linggarjati sekitar jam 12.10, hawa sejuk langsung kami rasakan. Dari jalan raya Kuningan-Cirebon kami belok kiri, terlihat jelas papan petunjuk arahnya menuju museum. Begitu belok disambut hijaunya persawahan penduduk dikiri-kanan jalan menuju museum dengan keadaan jalan sedikit menanjak. Pada waktu itu kondisi jalan masuk ke lokasi museum tidak terlalu mulus, di beberapa bagian terdapat lobang. Mungkin sekarang jalannya sudah beraspal mulus, saya berharap demikian. Setelah menempuh jarak kurang lebih 5 Km, kami sampai di depan Museum Linggarjati.
Museum Linggarjati
Halaman Museum Linggarjati terlihat asri dengan rumput hijaunya yang menghampar. Gunung Ciremai yang tinggi menjulang menjadi background yang sempurna dari Museum Linggarjati. Pepohonan yang rindang terlihat di sisi kanan museum menambah kesan asri lingkungan museum. Bangunan museum jika dilihat dari arah jalan raya terlihat berada ditempat yang lebih tinggi, sehingga saat masuk menuju parkiran, motor terpaksa sedikit menanjak. Bangunan museum memiliki gaya bangunan khas rumah-rumah jaman belanda dulu. Sebuah bangunan rumah yang terlihat sangat menarik. Luas komplek Linggarjati kurang lebih 2,4 hektare, dimana sepertiga dari luas tersebut merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk perundingan.
Begitu kami sampai di parkiran, gerimis mulai berjatuhan dan tidak berapa lama hujan yang lumayan deras datang. Langsung saja kami berlarian menuju gerbang masuk museum. Pengunjung museum tidak terlalu banyak, hanya terlihat beberapa buah motor dan mobil yang diparkiran. Warung-warung disekitar parkiran juga hanya beberapa yang buka, mungkin karena bukan hari libur. Ternyata bangunan museum bersebelahan dengan perumahan penduduk. Didepan pintu masuk terdapat papan kecil bertuliskan Museum Linggarjati. Pintu masuk berada di sebelah kiri bangunan yang menurut saya sebenarnya bukan pintu masuk utama dari rumah ini.
Kami masuk bersama pengunjung lain yang juga baru datang. Begitu masuk disambut oleh adik-adik SMA dengan mengenakan seragam dan memakai jilbab. Mereka menyodorkan buku tamu untuk kami isi. Antri sebentar dengan pengunjung lain untuk mengisi buku tamu. Setelah mengisi buku tamu dengan pedenya kami langsung masuk museum tanpa mengisi kotak sumbangan yang telah disediakan di atas meja, padahal pengunjung yang lain pada ngisi. Agak sedikit malu juga diliatin adik-adik SMA, karena tidak mengisi kotak sumbangan.
Memasuki ruang tamu atau ruang utama dari museum, terlihat barisan kursi yang digunakan dalam perundingan yang masing-masing barisan terdapat sebuah meja panjang. Barisan kursi sebelah kiri digunakan oleh pihak Indonesia yang diwakili oleh perdana menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir. Sedangkan barisan sebelah kanan digunakan oleh pihak Belanda yang diwakili oleh Wim Schermernhorn. Bertindak sebagai mediator dalam perundingan tersebut adalah diplomat Inggris, Lord Killearn. Perundingan Linggarjati sendiri berlangsung pada tanggal 10-13 November 1946. Ruangan dan segala perabotan yang ada dalam museum telah direnovasi oleh pemerintah pada tahun 1976. Dipugar sedemikian rupa sehingga suasananya sedapat mungkin sama seperti pada tahun 1946.
Bangunan museum ini terdiri dari beberapa ruang, yaitu ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi dan ruang belakang. Ruang tamu dipergunakan sebagai ruang untuk melakukan lobi dan meeting informal. ruang tengah merupakan ruang utama, dimana perjanjian Linggarjati dilaksanakan. Ternyata posisi kursi yang diduduki oleh para anggota perundingan masih sama seperti dulu waktu perundingan dilangsungkan. diantara para peserta perundingan tersebut adalah, delegasi Indonesia terdiri dari : 1.Sutan Sjahrir; 2.Mr.Soesanto Tirtoprodjo; 3.Dr.A.K.Gani; 4.Mr.Muhammad Roem. Delegasi Belanda terdiri dari : 1.Prof.Ir. Schermerhorn; 2.Mr.Van Poll; 3.Dr.F.DeBoer; 4.Dr.Van Mook. Dan sebagai notulensi adalah : 1.Dr.J.Leimena; 2.Dr.Soedarsono; 3.Mr.Amir Sjarifuddin; 4.Mr.Ali Budiardjo. Kamar-kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang perundingan merupakan tempat tidur yang dipergunakan oleh delegasi Indonesia dan Belanda selama mengikuti jalannya perundingan.
Suasana yang saya rasakan benar-benar merasa seperti berada di tahun 1946, renovasi yang dilakukan pemerintah benar-benar membuat suasana mirip aslinya pada saat itu. Perabotan yang ada masih terawat dengan baik. Di dinding bangunan terpajang dokumentasi perundingan berupa foto, yang bisa menunjukkan kepada kita peristiwa pada saat itu. Banyak sekali foto yang terpajang di dinding, baik di ruang utama, di dalam kamar dan di ruang lainnya. Foto yang didalam kamar menunjukkan foto dari delegasi yang tidur di kamar tersebut. Ada sebuah replika yang menggambarkan peristiwa perundingan berlangsung yang ditempatkan disebuah kotak kaca di dekat pintu masuk. Ada juga sebuah piano dengan model klasik, setelah saya coba ternyata sudah tidak berfungsi lagi.
Perundingan atau perjanjian Linggarjati bisa dianggap sebagai sebuah perjanjian yang sangat penting bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Karena mempunyai hubungan yang erat dengan eksistensi pemerintah Indonesia di mata dunia pada waktu itu, baik secara De Facto maupun De Jure. Diantara isi pokok perjanjian Linggarjati adalah :
1. Belanda mengakui secara De Facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Gedung Linggarjati mempunyai sejarah yang panjang. Di salah satu kamar museum terdapat foto besar seorang pria bernama Johannes Van Os. Dialah orang yang pertama kali memperbaiki rumah ini dan menjadikannya rumah keluarga pada tahun 1930. Sebelumnya rumah ini hanyalah sebuah gubuk milik ibu Jasitem yang kemudian diperistri oleh orang Belanda. Pada tahun 1935, oleh Van Hetker gedung ini dikontrak dan di rombak lagi menjadi Hotel Rustoord. Pada jaman pendudukan Jepang, gedung ini direbut dan dijadikan Hokai Ryokai pada tahun 1942. Tahun 1945 pejuang kita berhasil merebutnya dan dijadikan sebagai markas BKR dan diubah namanya menjadi Hotel Merdeka, pada saat inilah perundingan Linggarjati berlangsung. Pada tahun 1950-1975, sempat digunakan untuk Sekolah Dasar Linggarjati 1. Kemudian akhirnya gedung ini dijadikan museum setelah direnovasi. Pada tahun 1985, sang anak pemilik rumah yaitu Dr. Willem Van Os dan Joty Kulve-Van Os yang memang dibesarkan di rumah ini berhasil memperjuangkannya untuk dikukuhkan sebagai cagar budaya dan memiliki nama Gedung Perundingan Linggarjati.
Setelah puas menikmati ruang demi ruang dan mengambil beberapa foto di dalam museum, kami keluar museum untuk ganti menikmati suasana di sekitar teras museum. Hawa sejuk langsung kami rasakan dan aroma air hujan menambah kesan damai di rumah tua yang luar biasa ini. Jam menunjukkan pukul 12.45 dan ternyata hujan sudah reda, tapi langit masih terlihat berawan hitam dan tampaknya akan masih menurunkan hujan. Sebelum hujan kembali turun, kami segera berfoto-foto ria. Walaupun cuma pake kamera hape tapi lumayan lah buat menambah koleksi foto, hasil fotonya juga ga jelek-jelek amat. Lagi enak-enaknya berfoto, hujan kembali turun dengan derasnya. Terpaksa aktifitas berfoto ria ditunda sampai hujan reda kembali.
Hujan memaksa kami menunggu hingga setengah jam lebih. Terlihat wajah-wajah penuh kebetean dari teman saya dan pengunjung lainya. Sekitar jam 13.30, hujan mulai reda dan aktifitas berfoto ria kembali bisa dilakukan. Saya mengajak Malik untuk mengambil foto di halaman museum yang lebih tepat dibilang sebagai taman. Tamannya begitu asri dengan rumput hijaunya yang menghampar yang bisa menggoda siapa saja untuk berfoto di area ini. Dari taman ini kita bisa melihat ke arah museum dengan latar belakang Gunung Ciremai. Di taman ini terdapat sebuah tugu peringatan perundingan Linggarjati. Untuk menuju tugu ini harus dengan sukarela menuruni anak tangga. Saya dan Malik mengambil foto di sini. Di tugu ini tertulis isi pokok dari perundingan Linggarjati.
Puas mengambil foto di taman, saya kembali ke atas menuju bangunan museum menghampiri Nunu yang lagi asyik merokok. Dia menolak ikut berfoto di taman karena merasa kedinginan, soalnya dia ga memakai jaket. Saya mengambil jalan kembali ke museum lewat anak tangga yang berbeda, anak tangga ini lebih kecil dan mengarah ke sebelah sisi kanan museum. Kami beristirahat sebentar di sisi kanan museum ini, sambil mengambil foto. Saat saya berjalan ke ujung paling kanan museum, saya tidak sengaja melihat ke arah belakang bangunan terdapat seorang muda-mudi lagi asyik berpelukan. Saat melihat saya, mereka langsung melepas pelukannya. Karena saya merasa ga enak telah mengganggu kenikmatan mereka, saya langsung pergi menghampiri Malik Dan Nunu yang lagi asyik nongkrong. Tiba-tiba Nunu minta foto, dia lalu berjalan ke arah sebuah pohon dan tiba-tiba saja terdengan suara sreettt…gedebuukk, dia terpeleset dan jatuh dengan sukses. Saya dan Malik ketawa ngakak melihat kejadian itu, si Nunu bangun dari jatuhnya dan ikut ketawa sambil bersihin celana dia yang kotor.
Jam 14.10, kami memutuskan untuk pulang mengingat hujan sudah reda. Kami tidak mau dalam perjalanan pulang nanti hujan kembali turun. Sebelum menuju parkiran kami mengambil foto terakhir di depan gerbang masuk museum. Mengabadikan kenangan terakhir mengunjungi museum ini. Sampai diparkiran, hanya tinggal beberapa motor saja. Helm kami basah terkena hujan, terpaksa sedikit terasa dingin saat dipakai. Jam 14.20, kami benar-benar meninggalkan Museum Linggarjati dengan terlebih dulu membayar 2ribu ke petugas parkir yang telah dengan setia menjaga motor kami dan pengunjung lainnya.
Saya merasa bangga dan sangat bersyukur bisa mempunyai kesempatan untuk mengunjungi tempat yang bersejarah ini. Tempat yang sebelumnya hanya saya baca di buku sejarah dan tidak pernah terbayangkan oleh saya bisa mengunjunginya. Mengingat rumah saya jauh dari bumi Jawa Barat. Tapi kenyataannya saya telah benar-benar mengunjunginya, melihat secara langsung bangunan yang menjadi saksi sejarah Indonesia dalam usahanya menjadi negara yang berdaulat seperti sekarang ini. Sudah sepantasnya lah kita mengucapkan rasa terima kasih kepada Bung Sutan Sjahrir yang sudah dengan gigih berdiplomasi dengan pihak Belanda dalam perundingan Linggarjati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar